Selasa, 30 Juni 2009

fiqih muamalah "MusaQoh"

BAB I

PENDAHULUAN 

 Musaqah ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurur perjanjian keduanya sewaku akad.

Mukhabarah dan muzara'ah adalah paroan sawah atau ladang yang benihnya bisa dari pemilik tanah dan penggarap. 

Memang banyak orang yang mempunyai kebun, tapi tidak dapat memeliharanya, sedang yang lain tidak memiliki kebun tapi sanggup bekerja. Maka dengan adanya peraturan seperti ini keduanya dapat hidup dengan baik.

Dalam Musaqah, muzara'ah dan mukhabarah, sering terjadi permasalahan dikalangan masyarakat, meskipun ketentuan-ketentuan dan syarat sudah ada, tapi sering terjadi kesalahpahaman antara pemilik tanah dengan penggarap dari segi hasilnya, karena hasil yang diharapkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan juga mengenai hal benih yang akan ditanam.

Dari permasalahan seperti ini, penulis bermaksud dalam makalah ini, untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan itu, supaya tidak terjadi kesalahpahaman antara pemilik dengan penggarap. 

 

BAB II

PEMBAHASAN
 
1.1. MUSAQAH

1. Pengertian Musaqah

Musaqah diambil dari kata Al-saqa yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya) atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemashlahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus sebagai imbalan.

Muasaqah adalah salah satu bentuk penyiraman.

Adapun menurut istilah adalah:

Menurut Abdurrahman Al-Jaziri: “Akad untuk pemeliharaan pohon; kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.

Menurut Malikiyah: “Sesuatu yang tumbuh ditanah.

Menuut Syafi’iyah: ” Membeikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.

Menurut Hanabilah musaqah mencakup dua hal yaitu:

§ Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagai bagian tertentu dar buah pohon tersebut.

§ Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan yang menanamkan akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya.

Menurut Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah: “memperkerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan Allah dari pohon itu untuk mereka berdua.

Menurut Hasbi Ash-Shiddiqi: “Syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan.

Dapat disimpulkan dari definisi-definisi diatas bahwa musaqah adalah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya.

 

 

2. Dasar Hukum Musaqah

Dasar hukumnya yaitu Al-hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr ra bahwa Rasulullah saw bersabda

ا عطى خيبر بشطر ما يخر ج منها من ثمر ا و ز ر ع و فى رواية دفع ا لي ا ليهود خيبر و ارضها علي 

ان يعملو ها من اموالهم وان رسوالله ص م شطرها

“ Memberikan tanah khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian . Pada riwayat lain dinyatakan bahwaRasul menyerahkan tanah khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk nabi.”

3. Rukun dan Syarat Musaqah

Rukun Musaqah:

1. Shigat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas dan samaran, yang disyaratkan dengan lafadz dan tidak cukup dengan perbuatan saja.

2. Dua orang yang akad (al-aqidain), dengan syarat baligh, berakal dan tidak berada dibawah pengampuan.

3. Objek musaqah (kebun dan semua pohon yang berbuah)

4. Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan.

5. Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing.

Syarat-syarat musaqah:

1. Ahli dalam akad

2. Menjelaskan bagian penggarap

3. Membebaskan pemilik dari pohon

4. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad

5. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.

4. Hukum Musaqah

a. Hukum musaqah sahih

Menurut ulama Hanafiyah hukum musaqah sahih adalah:

§ Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedang biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua,

§ Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan,

§ Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa,

§ Akad adalah lazim dari kedua belah pihak,

§ Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada uzur,

§ Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati,

§ Penggarap tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain kecuali jika di izinkan oleh pemilik.

Menurut ulama Malikiyah:

§ Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buahtidak wajib dikerjakandan tidak boleh disyaratkan,

§ Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah tidak wajib dibenahi oleh penggarap. 

§ Sesuatu yang berkaitan dengan buah tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah akan tetapi menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.

b. Hukum musaqah fasid

Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’.

Menurt ulama Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:

§ Mensyaratkan hasil musaqah bagi salah seorang dari yang akad,

§ Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad,

§ Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan,

§ Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan pada penggarap,

§ Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah pembagian,

§ Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis wakt akad,

§ Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan,

§ Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.

 
5. Habis waktu Musaqah

Menurut ulama Hanafiyah, musaqah dianggap selesai apabila:

a. Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad

b. Meninggalnya salah seorang yang akad

c. Membatalkan, baik dengan ucapan jelas atau adanya uzur.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat musaqah selesai jika habis waktu.

 
2.2. MUZARA’AH dan MUKHABARAH

1. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah

Menurut etimologi, muzara,ah adalah wajan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan.

Al-muzara’ah memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal.

Sedangkan menurut istilah muzara’ah dan mukhabarah adalah:

Ulama Malikiyah; “Perkongsian adalah bercocok tanam”

Ulama Hanabilah: “Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman hasilnya tersebut dibagi antara keduanya.

Ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkan dan benuhnya berasal dari pengelola. Adapun mujara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.”

2. Dasar Hukum Mukhabarah dan Muzara’ah

Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Nuslim dari Ibnu Abbas r.a.

 ان النبي ص م لم يحرم المزارعة و لكن امر ان يرفق بعضهم ببعض بقوله من كانث له ارض فليزرعها 

اوليمنحها او خاه فان ابي فليمسك ارضها  

 

“Sesungguhnya Nabi Saw. menyatakan, tidak mengharamkan muzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”

3. Rukun dan Syarat Muzara’ah  

Rukun Muzara’ah:

1. Tanah

2. Perbuatan pekerja

3. Modal

4. Alat-alat untuk menana

Syarat-syarat Muzara’ah:

Syarat aqid (orang yang melangsungkan aqad)

1. Syarat tanaman

2. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman

3. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami 

4. Hal yang berkaitan dengan waktu

5. Syarat alat becocok tanam.

4. Hukum Muzara’ah

a. Hukum muzara’ah sahih

Menurut ulama Hanafiyah, hukum mujara’ah yang sahih adalah sebagai berikut:

§ Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.

§ Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.

§ Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.

§ Menyiran atau menjaga tanaman.

§ Dibolehkan menambah penghasilan dan kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.

§ Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.

b. Hukum Muzara’ah fasid

Menurut ulama Hanafiya, hukum muzara’ah fasid adalah:

§ Penggarap tidak berkewajiban mengelola.

§ Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.

§ Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya

 
5. Habis Waktu Muzara’ah

Beberapa hal yang menyebabkan mujara’ah habis:

§ Habis mujara’ah.

§ Salah seorang yang akad meninggal.

§ Adanya uzur.

6. Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah

Muzara’ah dan mukhabarah disyariatkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksikan karena tidak ada yang mengolahnya.

Muzara’ah dan mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-al lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
BAB III

KESIMPULAN

 Musaqah adalah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya. Muasaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. 

Muzara'ah adalah paroan lahan atau sawah yang benihnya berasal dari petani atau orang yang akan menggarap lahan tersebut.

Muhkabarah adalah paroan sawah atau lahan yang benihnya berasal dari pemilik tanah.

Adapun sistem pembagian hasilnya disesuaikan dengan ketentuan sebelumnya antara pemilik tanah dan penggarap.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 


 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

v Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005

 

v Syafe'i, Rahmat. Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001

 

v Rasjid, Suliman. Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1994

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar